Sabtu, 04 Juni 2016

Gunung Kendang

Hiking For A Cause Bersama Sabuki


Nun jauh di daerah Bandung Selatan, ada sebuah negeri tempat embun beku jatuh sepanjang hari.  Pohon  teh tumbuh subur. Sapi ternak gemuk-gemuk. Dan para petani yang bersahabat dengan cuaca dingin. Negeri terpencil itu bernama Desa Neglawangi, kecamatan Kertasari, Pangalengan.
Pagi itu ada sekelompok orang berkumpul di depan masjid desa melakukan gerakan senam untuk melawan dingin. Pemanasan dilakukan secara berkelompok terdiri dari 7-10 orang per regu.  Mereka adalah pegiat alam, gabungan dari berbagai komunitas seperti SABUKI, KPGB, JGB, HIKINGROUTE dan BOPALA.
Tertarik dengan kampanye komunitas Sabuki dengan tagar ‘Save Ciharus’ di media social, saya bersama sekitar 70 orang terpanggil untuk melakukan misi ‘hiking for a cause’ menuju puncak Gunung Kendang selama dua hari satu malam.  

Menuju Puncak Gunung Kendang

Pendakian dimulai dengan meyelusuri petak-petak perkebunan teh. Selama hampir setengah jam pertama, sejauh mata memandang hanya ada hijau daun teh. Dan barisan kepala peserta hiking yang muncul dan menghilang di kejauhan di atas bukit. 

Di balik bukit, pemandangan secara bertahap mulai berubah. Barisan pohon teh mulai diselangi oleh gundukan tanah yang ditumbuhi baby-carrot berwarna orange. Semakin jauh berjalan, semakin banyak kebun wortel terlihat. Sesekali terlihat ada bongkol wortel muncul ke permukaan tanah.  Agak ke pinggir terdapat deretan sayur bunga kol yang ditanam berbatasan dengan hutan.

Ke dalam hutan, itu tujuan kami. Pos pertama adalah  sebidang tanah datar di tengah hutan pohon kayu putih dan pinus. Kami harus mengurangi kecepatan dan menunggu di sana. Karena ada kabar salah satu peserta kram dan dua peserta wanita tersesat di labirin pohon teh.  Kami diharuskan menunggu sampai semua peserta lengkap sebelum melanjutkan perjalanan. Kesempatan ini dipakai oleh saya untuk menurunkan beban carrier, sekaligus beristirahat. Sebagian orang menggunakan kesempatan tersebut untuk makan atau mengisi air dari sumber air. 

Tantangan berikutnya mulai terasa berat saat menelusuri jalan setapak menuju pos kedua. Jalur penanjakan mulai tidak bersahabat. Kontur tanah bergambut, lembek saat diinjak. Perdu tumbuh setinggi pinggang. Pakis liar serta semak berduri malang melintang menghalangi jalan.  Berbagai tumbuhan liar seperti lumut dan Kantung Semar ( Genus Nepenthes ) merambat setinggi kepala. Jalin mejalin bersama berbagai ranting dan dahan  sehingga membentuk terowongan.
Diperlukan tenaga ekstra untuk menerobos terowongan semak belukar itu.  Jika tangan kanan menyibak ranting, saking lebatnya ketika dilepas, ranting tersebut akan menampar orang yang berada di belakang kita.  Kesulitan tidak hanya sampai di situ. Ada onak yang siap merobek kulit. Juga ada serangan gigitan serangga. Jadi parang dibutuhkan untuk menebas dan membuka jalan. 
Salah satu pelajaran penting yang saya petik dari hiking kali ini adalah pentingnya untuk memberi tanda. Setiap bertemu tikungan tali raffia merah diikat sebagai tanda. Selain agar rombongan di belakang bisa mengikuti, juga agar tidak tersesat saat turun gunung.   
Jika halangan semak belukar serta onak tidak membuat saya menyerah. Maka gerimis yang turun sejak dari pos satu benar-benar membuat saya frustasi. Pakai jaket tebal dan ponco sama sekali tidak membantu. Karena gerimisnya sedingin es batu. Membuat jari tangan kaku,  dan pandangan mata terbatas.
Walaupun sudah berhati-hati, berkali-kali saya terjatuh. Ponco yang saya pakai menyulitkan saya berjalan. Kalau terinjak ujung ponco. berat carrier akan membuat saya terjengkang ke belakang. Saat harus merangkak,  tak jarang ponco tersangkut ranting. Kembali hal itu  membuat saya  terjerembab ke depan.  Belum lagi berkali-kali kehilangan keseimbangan dan terpeleset karena licin.
Jam menunjukan pukul 13.45 saat tiba di pos dua. Makan siang yang sudah terlalu terlambat. Tanpa dikomando yang membawa perlengkapan memasak mulai mengeluarkan nesting, kompor, cairan parafin atau gas portable, membuat api, merebus air dan mulai sibuk memasak.  
Saya butuh asupan karbohirat sebagai sumber energi.  Mie instant, sebuah pisang canvendis,  dan sepotong besar  coklat tidak cukup.  Kelaparan membuat saya mulai  berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengemis sesuap nasi di sini dan dua suap di sana.  Harus  diakui, nasinya kebanyakan kurang matang tapi rasanya tetap nikmat sekali makan di alam terbuka.
“Kita sudah berada di ketinggian 2105 mdpl, “ kata seseorang dari komunitas SABUKI sambil memperlihatkan alat GPS.  Gunung Kendang memiliki ketinggian 2617mdpl, jadi perhitungan kasarnya, puncak Gunung Kendang bisa dicapai dalam waktu kurang dari dua jam. 

Diterjang Hujan Badai 

Saya mengira perjalanan menuju pos dua adalah yang terberat. Ternyata saya salah. Hujan turun semakin deras sehingga kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan menuju pos tiga. Di sana kami akan membuka tenda dan bermalam di sana. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berakhir. Dingin semakin menggigit. Sekujur tubuh basah dan mulai menggigil. Tidak ada pilihan lain selain terus melangkah.
Tanjakan semakin sempit. Sebelah kanan semak belukar, sebelah kiri jurang menggangga lebar. Dari kemiringan tebing, tumbuh beratus-ratus pohon Cantigi.  Ujung Cantigi tumbuh sampai ke ujung jalur pendakian. Saat melewati jalur tersebut serasa seperti pendekar silat sedang latihan ilmu meringankan tubuh di atas pucuk pohon.
Ketika kabut menyibak dan memperlihatkan isi lereng gunung. Saya kerap berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sekaligus menikmati keindahan gunung. Ada lembah berwarna pekat. Kabut melayang seperti kapas. Diantara hijau dan merah daun Cantigi, terdengar suara burung dan cericit suara serangga.  Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan. Indah sekaligus menakutkan.  Maut kalau sampai terjatuh ke dalam jurang.
Saya tidak tahu sudah berapa lama berjalan. Dingin cukup menyiksa. Lelah membuat saya ingin berhenti. Berkali-kali saya membatin,”Sebentar lagi sampai. Sebentar lagi.” Tapi pos tiga tak kunjung sampai.
Orang yang berada di depan saya sudah lama menghilang di kejauhan. Saya tercecer dari rombongan. Untuk mengejar saya sudah kehabisan napas. Ketika menengok ke belakang, tak ada seorang pun. Hanya ada keheningan hutan. Saya tidak tahu apakah saya merupakan orang terakhir dari rombongan kami,  atau  masih ada rombongan lain di belakang saya. 
Puncak frustasi adalah saat jatuh terguling-guling di sebuah tanjakan. Terlintas untuk berbaring saja di tanah. Berharap ada yang lewat. Karena takut tersesat di hutan sendirian,  saya memaksakan diri berdiri dan mulai merangkak. Berusaha berpegangan pada akar, menyeret kaki selangkah demi selangkah ke atas. 
Saya hampir menangis ketika melihat sebuah bivak dari fly-sheet di ujung tikungan. Sudah ada belasan orang berlindung dari hujan di dalam bivak. Ternyata saya berhasil menyusul mereka. Sampai juga di pos tiga. Semangat saya langsung pulih kembali.   
Namun kami tidak bisa  berlama-lama di dalam bivak. Sepuluh menit ambil arah kanan lurus ke atas maka kami akan tiba di puncak Gunung Kendang. Tapi memaksakan diri ke puncak dalam keadaan cuaca buruk adalah bunuh diri. Jadi kami mengambil jalan berlawanan. Kami harus segera menuju kawah mati untuk mendirikan tenda. Atau kami akan kemalaman di hutan. 
Kawah mati menurut saya lebih mirip rawa. Tidak ada savanna dengan rumput kering.  Tidak  ada lautan bunga Eldewieis. Hanya ada hamparan tumbuhan air semanggi gunung yang tumbuh menutupi sebagian permukaan kawah mati. Sisanya adalah genangan air terbuka. 

Summit Attack 

Ada silang pendapat keesokan paginya. Sebagian ingin langsung turun gunung setelah disiksa hujan badai dan kedinginan sepanjang malam. Yang lain berpendapat  tidak sampai ke puncak, bukan mendaki gunung namanya.
“Tinggal 10 menit saja, kok,” kata pemimpin rombongan dari Sabuki. 
Akhirnya disepakati untuk summit attack setelah sarapan besar. Semua logistik dikeluarkan dan dimasak ramai-ramai. Sarapan bersama membawa keseruan tesendiri. Semua makanan digelar memanjang di tanah dan semua makan bergilir sambil jongkok.
Puncak Gunung Kendang masih tertutup oleh lebat pepohonan sehingga sulit untuk melihat sekeliling. Hanya ada  plat kayu  dengan tulisan Gunung Kendang-2617 mdpl sebagai tanda. Kami telah berhasil sampai ke puncak. Hiking for a cause bersama Sabuki dalam rangka kampanye penyelamatan Danau Ciharus berhasil. Mission accomplished!



#Save Ciharus 

Danau Ciharus dijuluki sebagai Ranukumbolo Jawa Barat. Indah? Sudah pasti.  Tapi itu dulu! Tergolong sebagai cagar alam inti Kamojang, seharusnya Danau Ciharus tidak boleh sembarang dimasuki, kecuali  dengan simaksi dengan tujuan penelitian. Tapi di lapangan, setiap orang bebas masuk  bahkan tanpa mengurus simaksi. 
Banyak  pegiat olahraga off-road  memakai  motor trail melewati Danau Ciharus dan sekitarnya. Kegiatan tersebut menggerus permukaan tanah. Sedimen dan material tanah  kemudian turut mengalir masuk ke dalam danau saat hujan. Hal itulah yang menjadi salah satu  penyebab utama pendangkalan danau saat ini.   
Warung permanen dan bangunan liar bermunculan seiring dengan semakin banyaknya orang berkunjung ke sana untuk berwisata alam.  Mereka yang mengaku dirinya sebagai pecinta alam, ironisnya justru menjadi penyumbang sampah non-organik terbesar di daerah sekitarnya.   
“Dulu kawasan ini adalah habitat burung Elang Jawa,” kata Gustav Ali Khamenei, salah satu penggagas komunitas Sabuki prihatin. Berangkat dari keprihatinannnya tersebut dia kemudian menggalang kegiatan  ‘hiking for a cause’   ke puncak Gunung Kendang bersama  berbagai komunitas lainnya. Tagar #save Ciharus menjadi tag-line kampanye.

“Kami sebagai individu tidak bisa berbuat banyak dengan kampanye ini. Hanya bisa berteriak dan menciptakan riak kecil di berbagai media social. Tapi kalau kita semua mau berteriak secara bersama-sama. Saya percaya suara kita akan  cukup keras untuk sampai ke telinga. Riak kecil yang kami buat akan menjadi gelombang tsunami. Harapan saya, saat itu semua orang akan sadar dan menjadi lebih peduli terhadap kelangsungan alam.” 
Sebelum mengakhir kegiatan hiking, beliau juga sempat berpesan agar kita semua memegang teguh etika  untuk ‘Take nothing but pictusre.  Leave nothing but foot print. Kill nothing but time.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar